A. Perkembangan Sastra Pada
Perkembangan Sastra Pada Masa Hindu-Budha
Pada masa Hindu-Budha, rupanya ada hak-hak istimewa raja dalam pembinaan
kesenian itu meskipun tidak disebut dalam prasasti-prasasti. Dari awal masa itu
sampai dengan masa Majapahit awal kesusastraan yang beerbentuk kakawin
yang rumit itu hanya dihasilkan oleh istana – istana raja. Contoh kakawin
masa itu yang terkenal adalah :[6]
Karya – karya kakawin yang agaknya di buat di luar istana raja baru
muncul pada masa Majapahit akhir, dengan contoh kakawin “Kunjarakarna”.
Keterkaitan raja dengan karya-karya susastra tersebut dapat diketahui dari ada
tidaknya ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada raja yang tertulis di
dalam karya-karya itu sendiri.[7]
Peranan istana raja dalam pembinaan seni suara dan tari pun tersirat dari
kutipan karya-karya sastra sejaman yang menceritakan betapa penyanyi dan penari
yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin atau gelang oleh raja.
Keunggulan putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam berolah seni diceritakan
dalam beberapa karya sastra masa Hindu- Budha, baik yang berupa kekawin
berbahasa Jawa kuno maupun yang berupa kidung berbahasa Jawa pertengahan. Salah
satu contohnya adalah Hayam Wuruk dalam Nagarakertagama.[8]
Namun juga terdapat siratan dari karya-karya sastra itu bahwa para pekerja
yang mengabdi di istana raja itu bisa direkrut dari pedesaan, dan membawa serta
kepercayaan-kepercayaan kerakyatannya. Misalnya kutipan kekawin Bharatayuddha
(VI. 2-3) tentang wanita-wanita di dalam istana Hastina yang mencuri-curi
mengambil bunga sajian bagi Ganesha, dimasukkan kedalam sanggulnya sebagai
semacam azimat cinta. Kepercayaan mengenai daya magis dari hal-hal yang terkait
dengan Ganesha lebih tepat dipaparkan dalam kitab-kitab prosa produk luar ke
rotan, seperti Tantu Panggelaran dan Korawasrama yang diciptakan sekitar akhir
kerajaan Majapahit. Benda-benda lambang Ganesha yang terbuat dari
tumbuh-tumbuhan harum tertentu, maupun dari logam dan batu, merupakan tempat
mujarab untuk meminta sesuatu. Kitab-kitab untuk itu juga memaparkan
kemampuan-kemampuan khas dewa Gana (Ganesha) untuk menebak dan mengutarakan
kenyataan yang tersembunyi. Penggambaran sifat yang demikian dari dewa
berkepala gajah itu sangat berbeda dengan yang ada pada kekawin-kekawin produk
keraton. Misalnya, kekawin Samaradahana yang memang memberikan cerita panjang
lebar mengenai kelahiran dan peperangan dewa berkepala gajah itu melawan
musuh-musuh dewa, menggambarkan Ganesha sebagai tokoh yang bersifat wira, gagah
berani dan menggemparkan.[9]
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa karya sastra pada masa Hindu-Budha
yakni mengenai dewa tersebut yang dikembangkan dikalangan keraton berbeda
dengan yang diluar keraton. Dalam perjalanan waktu yang panjang di masa Hindu
Budha itu, yaitu dari abad VII hingga abad XVI. Kiranya dari waktu ke waktu
terdapat hubungan saling melihat antara pihak keraton dengan pihak luar
keraton, untuk kemudian saling mengambil. Peranan raja sebagai pemimpin
kerajaan tentunya cukup besar untuk membuahkan mutu seni dan sastra yang
meningkat dan perangkat kaidah yang semakin kuat.
a. Kesusastraan Jawa Klasik
Kebudayaan asli jawa yang bersifat
transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan
besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindhu-Budha yang
berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai
kebudayaan Jawa, meliputi : sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan,
astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum.
Berabad-abad lamanya kebudayaan Hindhu-Budha
yang berasal dari India itu mempengaruhi tanah Jawa. Kejayaan Hindu-Budha
berangsur-angsur menyusut setelah kekuasaan kerajaan Majapahit berakhir.
Pengaruh Hindu-Budha bergeser ke pulau Bali hingga saat ini. Bahkan agama Hindu
merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Bali.
b. Kesusastraan Nusantara
Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan, maka dengan kebudayaan India
datang pulalah kesusastraan India di Nusantara. Orang-orang India yang datang
ke Nusantara itu mula-mula bukan dari kasta Ksatria dan Bdmana, tetapi dari
kasta Waisa dari berbagai tempat di India, malahan ada yang jauh dari temapat
pusat kesusastraan India.
Orang-orang ini datang kebanyakan untuk berdagang, namun lama-kelamaan
banyak percampuran darah dan pengetahuan mereka tentang agama. Banyak
orang-orang Nusantara yang ingin belajar memahami bahasa Sansekerta. Bahasa ini
sangat mempengaruhi terhadap bahasa-bahasa Nusantara, seperti bahasa Jawa,
Bali, Malayu. Di samping itu pula abjad yang dipakai bagi menulis bahasa itu,
dan abjad yang itu mula-mula abjad Prenagari tetapi kemudian berubah menjadi
huruf Pallawa.
c. Kesusastraan Lontar
Naskah-naskah yang ditemukan di pulau Jawa, sebagian besar berasal dari
kertas besar buatan asli, tebal, kuat, dan tertulis pada daun lontar-lontar
panjang. Maka dari itu, disebut
DAFTAR PUSTAKA
Purwadi, Dr. M,Hum. 2007. Sejarah Satra Jawa. Yogyakarta
: Panji Pustaka.
Purwanto, Bambang. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah
Budaya Asia Tenggara. Denpasar : Udayana University Press
Sedyawati, Edi. 2006.
Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
0 komentar:
Posting Komentar