Welcome to Kreasi El-Habib's Blog

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP KECERNAAN ATAU DIGESTIBILITAS PROTEIN

Kamis, 25 September 2014

LAPORAN PRAKTIKUM
EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN (EGDP)

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP KECERNAAN ATAU DIGESTIBILITAS PROTEIN
 









Disusun oleh :
Kelompok 4
Nama              : Rr. Wirastuti                         (07625)           
                                                               Apriadi Panca N.J.               (07774)           
                                                               Yaniek Amanati P.               (07962)
                                                               Sitirahayu                             (08008)
                                                               Rr. Pramilih Wahyu N.        (08010)
                                                               Notiana W.                           (08052)
                                                               Dyah Ayu                            (08066)
Hari/ Tgl         : Rabu-Kamis, Maret 2006
Assisten          : Novi Akhsani



JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006
I.        TUJUAN PERCOBAAN
Mengetahui pengaruh pengolahan terhadap kecernaan (digestibilitas) protein secara in vitro menggunakan enzim pepsin pada telur asin mentah dan telur asin matang.

II.     TINJAUAN PUSTAKA
A.    Dasar Teori
protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dn pengatur. Protein adlaah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).
Protein merupakan suatu polipeptida dengan BM yang sangat bervariasi dari 5000 samapi lebih dari satu juta karena molekul protein yang besar, protein sangat mudah mengalami perubahan fisis dan aktivitas biologisnya. Banyak agensia yang menyebabkan perubahan sifat alamiah dari protein seperti panas, asam, basa, solven organik, garam, logam berat, radiasi sinar radioaktif (Sudarmadji, 1996).
Struktur asam amino digambarkan sebagai berikut:
                                                           H

H2N                C              COOH

                                                           R
                                                                                                (Lehninger, 1995).
Apabila asam amino larut dalam air, gugus karboksilat akan melepaskan ion H+, sedangkan gugus amina akan menerima ion H+, seperti reaksi berikut:
Oleh adanya kedua gugus tersebut asam amino dalam larutan dapat membentuk ion yang bermuatan positif dan juga bermuatan negatif atau disebut juga ion amfoter (zwitterion). Keadaan ion ini sangat tergantung pada pH larutan. Apabila asam amino dalam air ditambah dengan basa, maka asam amino akan terdapat dalam bentuk (I) karena konsentrasi ion OH- yang tinggi mampu mengikat ion-ion H+ pada gugus –NH3+. Sebaliknya bila ditambahkan asam ke dalam larutan asam amino, maka konsentrasi ion H+ yang tinggi mampu berikatan dengan ion –COO- sehingga terbentuk gugus –COOH sehingga asam amino akan terdapat dalam bentuk (II) (Anna Poedjiadi, 1994).
Dalam suatu sistem elektroforesis yang memiliki elektroda positif dan negatif, asam amino akan bergerak menuju elektroda yang berlawanan dengan muatan asam amino yang terdapat dalam larutan. Apabila ion asam amino tidak bergerak ke arah negatif maupun positif  dalam suatu sistem elektroforesis maka pH pada saat itu disebut pH isolistrik. Pada pH tersebut terdapat keseimbangan antara bentuk-bentuk asam amino sebagai ion amfoter, anion dan kation (Anna Poedjiadi, 1994).
Gugus karboksil pada asam amino dapat dilepas dengan proses dekarboksilasi dan menghasilkan suatu amina. Gugus amino pada asam amino dapat bereaksi dengan asam nitrit dan melepaskan gas nitrogen yang dapat diukur volumenya. Van Slyke menggunakan reaksi ini untuk menentukan gugus amino bebas pada asam amino, peptida maupun protein. (Anna Poedjiadi, 1994).
Pada dasarnya suatu peptida adalah asil-asam amino, karena gugus –COOH dan –NH2 membentuk ikatan peptida. Peptida didapatkan dari hidrolisis protein yang tidak sempurna. Apabila peptida yang dihasilkan dihidrolisis lebih lanjut akan dihasilkan asam-asam amino. (Anna Poedjiadi, 1994).
Sifat peptida ditentukan oleh gugus –COOH, –NH2 dan gugus R. Sifat asam dan basa pada peptida ditentukan oleh gugus –COOH dan –NH2 , namun pada rantai panjang gugus –COOH dan –NH2  yang terletak diujung rantai tidak lagi berpengaruh. Suatu peptida juga mempunyai titik isolistrik seperti pada asam amino. Reaksi biuret merupakan reaksi warna untuk peptida dan protein. (Anna Poedjiadi, 1994).
Struktur protein dapat dibagi menjadi empat bentuk; primer, sekunder, tersier dan kuartener. Susunan linier asam amino dalam protein merupakan struktur primer. Susunan tersebut akan menentukan sifat dasar protein dan bentuk struktur sekunder serta tersier. Bila protein menandung banyak asam amino dengan gugus hidrofobik, daya kelarutannya kurang dalam air dibandingkan dengan protein yang banyak mengandung asam amino dengan gugus hidrofil. (Winarno, 1992).
Protein yang terdapat dalam bahan pangan mudah mengalami perubahan-perubahan, antara lain:
1.      Dapat terdenaturasi oleh perlakuan pemanasan.
2.      Dapat terkoagulasi atau mengendap oleh perlakuan pengasaman.
3.      Dapat mengalami dekomposisi atau pemecahan oleh enzim-enzim proteolitik.
4.      Dapat bereaksi dengan gula reduksi, sehingga menyebabkan terjadinya warna coklat.
Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhdap struktur sekunder, tersier dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau wiru molekul protein. (Winarno, 1992).


Denaturasi protein
Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tertier dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovelen. Karena itu, denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan aterbukanya lipatan atau wiru molekul protein (Winarno, 1992).
Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul bagian dalam yang ersifat hidrofobik akan keluar sedangkan bagian hidrofilik akan terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembakikkan akan terjadi bila protein mendekati pH isoelektris lalu protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas akan bertambah karena molekul mengembang menjadi asimetrik, sudut putaran optis larutan protein juga akan meningkat (Winarno, 1992).
            Denaturasi protein meliputi gangguan dan kerusakan yang mungkin terjadi pada struktur sekunder dan tersier protein. Sejak diketahui reaksi denaturasi tidak cukup kuat untuk memutuskan ikatan peptida, dimana struktur primer protein tetap sama setelah proses denaturasi. Denaturasi terjadi karena adanya gangguan pada struktur sekunder dan tersier protein. Pada struktur protein tersier terdapat empat jenis interaksi yang membentuk ikatan pada rantai samping seperti; ikatan hidrogen, jembatan garam, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik non polar, yang kemungkinan mengalami gangguan. Denaturasi yang umum ditemui adalah proses presipitasi dan koagulasi protein (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart, C.E., 2003).

Denaturasi karena Panas:
            Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein telur mengalami denaturasi dan terkoagulasi selama pemasakan. Beberapa makanan dimasak untuk mendenaturasi protein yang dikandung supaya memudahkan enzim pencernaan dalam mencerna protein tersebut (Ophart, C.E., 2003).
Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit (Ophart, C.E., 2003).
Alkohol dapat merusak ikatan hidrogen:
            Ikatan hidrogen terjadi antara gugus amida dalam struktur sekunder protein. Ikatan hidrogen antar rantai samping terjadi dalam struktur tersier protein dengan kombinasi berbagai asam amino penyusunnya (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart, C.E., 2003)
Denaturasi karena Asam dan basa:
Protein akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai ph isoelektris yaitu ph dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang sama, pada saat inilah protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan meningkat dan timbulnya gumpalan. (Anna, P., 1994).    Asam dan basa dapat mengacaukan jembatan garam dengan adanya muatan ionik. Sebuah tipe reaksi penggantian dobel terjadi sewaktu ion positif dan negatif di dalam garam berganti pasangan dengan ion positif dan negatif yang berasal dari asam atau basa yang ditambahkan. Reaksi ini terjadi di dalam sistem pencernaan, saat asam lambung mengkoagulasi susu yang dikonsumsi (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart, C.E., 2003)
Denaturasi karena Garam logam berat:
            Garam logam berat mendenaturasi protein sama dengan halnya asam dan basa. Garam logam berat umumnya mengandung Hg+2, Pb+2, Ag+1 Tl+1, Cd+2 dan logam lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara garam logam berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein-logam yang tidak larut (Ophart, C.E., 2003).
Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan ph larutan diatas pi karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan ph larutan dibawah pi karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++, sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. (Anna, P., 1994).
Garam logam berat merusak ikatan disulfida:
            Logam berat juga merusak ikatan disulfida karena affinitasnya yang tinggi dan kemampuannya untuk menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi protein (Ophart, C.E., 2003).
Agen pereduksi merusak ikatan disulfida:
            Ikatan disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada sistein. Antara rantai protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus sulfhidril akan membentuk ikatan disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen pereduksi dapat memutuskan ikatan disulfida, dimana penambahan atom hidrogen sehingga membentuk gugus tiol; -SH (Ophart, C.E., 2003).
(Ophart, C.E., 2003)
Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul protein  bagian dalam yang bersifat hidrofobik akan keluar, sedangkan bagian yang hidrofilik akan terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembalikkan terjadi bila larutan protein mendekati pH isoelektris, lalu protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas akan bertambah karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik, sudut putaran optis larutan protein juga akan meningkat. Denaturasi protein dapat disebabkan oleh panas, pH, bahan kimia, mekanik dan lain-lain. (Winarno, 1992).
Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan ph larutan diatas pi karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan ph larutan dibawah pi karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++, sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. (Anna, P., 1994).
Protein akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai ph isoelektris yaitu pH dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang sama, pada saat inilah protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan meningkat dan timbulnya gumpalan. (Anna, P., 1994).
Pada umumnya kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri (S.A. & Suwedo H. ,1987). Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Salah satu parameter nilai gizi protein adalah daya cernanya yang didefinisikan sebagai efektivitas absorbsi protein oleh tubuh (Del Valle, 1981). Berdasarkan kandungan asam-asan amino esensialnya, bahan pangan dapat dinilai apakah bergizi tinggi atau tidak. Bahan pangan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam amino esensial yang lengkap serta susunannya sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein- fitat, dan sebaginya. Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor dan fitat (Muchtadi, 1989).
Untuk menentukan kualitas protein dalam bahan makanan dapat dilakukan secara in vitro, yaitu metode penentuan kulaitas protein secara khemis berdasarkan pada pemecahan protein oleh enzim proteolitik seperti pepsin, tripsin, khimotripsin, dan aminopeptidase (Narasinga, 1978). Analisis ini memberikan gambaran berlangsungnya proses pencernaan protein di lambung dan usus.
Enzim yang biasa digunakan dalam percobaan adalah enzim pepsin yang merupakan golongan dari enzim endopeptidase,  yang dapat menghidrolisis ikatan-ikatan peptida pada bagian tengah sepanjang rantai polipeptida dan  bekerja optimum pada pH 2 dan stabil pada pH 2-5. Enzim ini dihasilkan dalam bentuk pepsinogen yang yang belum aktif di dalam getah lambung. Pepsin berada dalam keadaan inaktif sempurna pada keadaan netral dan alkalis. Enzim ini bekerja dengan memecah protein menjadi proteosa dan pepton (Del valle, 1981).
Analisis protein secara in vitro terbagi atas dua metode. Metode pertama adalah pepsin digest residue index (PDR) menggunakan enzim pepsin sebagai penghidrolisis sampel protein. Sedangkan metode kedua adalah pepsin pancreatin digest index yang menggunakan dua macam enzim yaitu pepsin dan pancreatin. Pada kedua metode tersebut dibandingkan jumlah nitrogen pada sampel dan pada residu sampel setelah dilakukan hidrolisis oleh enzim.
Peneraan jumlah protein dilakukan dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. N total bahan diukur dengan menggunakan metode mikro-Kjeldahl. Prinsip dari metode ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk membentuk CO2 dan H2O serta pelepasan nitrogen dalam bentuk ammonia yaitu penentuan protein berdasarkan jumlah N. Dalam penentuan protein seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi teknik ini sulit sekali dilakukan mengingat kandungan senyawaan N lain selain protein dalam bahan juga terikut dalam analisis ini. Jumlah senyawaan N ini biasanya sangat kecil yang meliputi urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Oleh karena itu penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan dengan cara ini  biasa disebut sebagai protein kadar/crude protein (Sudarmadji, 1996). Analisa protein cara kjeldahl pada dasarnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, destilasi dan titrasi.  
            Penentuan kandungan air dalam bahan makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana hal ini tergantung dari sifat bahannya. Dalam percobaan, analisa kadar air ditentukan dengan metode pengeringan (Thermogravimetri). Prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan tersebut sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah, akan tetapi memiliki berbagai kelemahan. Diantaranya ialah:
v  Bahan lain selain air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap. Misalnya alcohol, asam asetat, minyak aksim, dll.
v  Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain. Contoh: gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi, dsb.
v  Bahan yang mengandung bahan yang mengikat air secara kuat sekali melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
                                                                           (Sudarmadji, 1996).

B. Tinjauan Bahan
1.      Telur Itik
Bobot dan ukuran telur itik rata-rata lebih besar dibandingkan dengan telur ayam. warna kulit telurnya agak biru muda. karena bau amisnya yang tajam, penggunaan telur itik dalam berbagai makanan tidak seluas telur ayam. Selain baunya yang lebih amis, telur itik juga mempunyai pori-pori yang lebih besar, sehingga sangat baik untuk diolah menjadi telur asin (Anonim, 20054).

2.      Telur Asin
Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Telur terdiri dari protein 13 %, lemak 12 %, serta vitamin, dan mineral. Nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral seperti : besi, fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B kompleks. Adapun putih telur yang jumlahnya sekitar 60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat (Anonim, 20061).
Telur asin adalah telur utuh yang diawetkan dengan adonan yang dibubuhi garam. Ada 3 cara pembuatan telur asin yaitu (Anonim, 20062):
a.       Telur asin dengan adonan garam berbentuk padat atau kering;
b.      Telur asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh;
c.       Telur asin dengan adonan garam, dan kemudian direndam dalam ekstrak atau cairan teh.
Adapun diagram alir pembuatan telur asin adalah:

Telur bebek
 
(Anonim, 20062)
Dibanding telur segar mutu protein telur asin sudah agak menurun. Garam telah menggumpalkan proteinnya, sehingga penyerapannya di dalam tubuh tidak semudah penyerapan protein telur segar. Perbedaan ini dapat diamati dari konsistensi bagian kuning pada telur asin lebih keras daripada bagian kuning telur segar. Penurunan nutrisi yang terjadi selama penggaraman hanyalah pada kandungan betakarotennya yang cukup nyata. Dari 1.230 IU betakaroten pada telur segar, hanya tinggal 841 IU saja setelah diasinkan. Sebaliknya, telur seribu tahun (telur hitam) banyak sekali mengalami kerusakan komposisi protein dan betakaroten. Satu-satunya nutrisi yang potensial hanyalah kalsium, karena kandungannya meningkat tajam dibanding telur segar. Nutrisi lain yang meningkat akibat pengasinan telur adalah kalsium. Hal ini tentu menguntungkan, karena kalsium sangat diperlukan dalam pembentukan tulang yang kuat. Penambahan kalsum ini berasal dari penyerapan mineral dari media pembalut telur selama penggaraman, terutama dari bata merah atau abu sekam. Kandungan kalsium meningkat 2,5 kali setelah pengasinan (Anonim, 20054).
Komposisi kimia telur segar dan telur asin:
Komposisi
Telur ayam
Telur bebek segar
Telur bebek asin
Kalori (kal)
162
189
195
Protein (gr)
12,8
13,1
13,6
Lemak (gr)
11,5
14,3
13,6
Hidrat arang (gr)
0,7
0,8
1,4
Kalsium (mg)
54
56
120
Fosfor (mg)
180
175
157
Besi (mg)
2,7
2,8
1,8
Vit. A (SI)
900
1230
841
Vit. B-1 (mg)
0,10
0,18
0,28
Vit.C (mg)
0
0
0
Air (gr)
74
70,8
66,5
b.d.d (%)
90
90
83
(Anonim, 20062)

3.      Enzim pepsin.
Pepsin adalah enzim yang terdapat dalam perut yang akan mulai mencerna protein dengan memecah protein menjadi bagian–bagian yang lebih kecil. Enzim ini termasuk protease; pepsin disekresi dalam bentuk inaktif, pepsinogen, yang akan diaktifkan oeh asam lambung. Enzim ini diproduksi oleh bagian mukosa dalam perut yang berfungsi untuk mendegradasi protein (Anonim, 20063).
Enzim ini memiliki pH optimum 2-4 dan akan inaktif pada pH diatas 6. Pepsin adalah salah satu dari 3 enzim yang berfungsi untuk mendegradasi protein yang lain adalah kemotripsin dan tripsin. Pepsin disintesa dalam bentuk inaktif oleh lambung; asam hidroklori; juga diproduksi oleh gastric mucosa dan kemudian akan diaktifkan pada pH optimum yaitu  1-3 (Anonim, 20063).


4.      Buffer Walphole 0.2 N
Dalam analisa kecernaan protein, larutan buffer Walphone 0,2 N pH 2 digunakan untuk mendapatkan kondisi optimum bagi aktivitas enzim pepsin sehingga enzim akan bekerja dengan baik mengkatalisis hidrolisis protein pada sampel.

5.      TCA 20%
Fungsi TCA adalah untuk menghentikan jalannya reaksi hidrolisis dengan cara mendenaturasi enzim karena sifat TCA adalah asam. Reagen ini menghentikan reaksi enzimatis karena sifatnya yang asam sehingga enzim menjadi inaktif dan kehilanagan fungsi katalitiknya.
























III. METODOLOGI PERCOBAAN
A. Alat
  • Labu takar 100 mL                                         Pipet ukur
  • Labu Kjeldahl                                                 Pipet tetes
  • Kertas saring                                                   Spatula                                   
  • Kompor Lisrik                                                 Timbangan analitik
  • Destilator                                                        Tabung reaksi + rak
  • Buret +statif                                                    Propipet
  • Erlenmeyer                                                      Sentrifuge
  • Ruang asam                                                     Kertas Whatman no.41
  • Gelas beker                                                     Waterbath Bergoyang
  •  
B. Bahan
  • Telur asin mentah
  • Telur asin matang
  • K2SO4 :  HgO (20:1)
  • H2SO4 pekat
  • Aquades
  • NaOH-Na2S2O3
  • Asam Borat 4%
  • Indikator BCG-MR
  • HCl 0,02 N
  • Buffer Whalphole 0,2 N pH 2
  • NaOH 0,1 N
  • Enzim Pepsin 2%
  • TCA (Tri Chloro Acetate) 20%







C. Cara Kerja
1. Standardisasi Na Tetra borat
0.05 mg Na-tetra borat

Ditambah aquadest 10 ml
 




Ditambah 2 tetes indikator metilen-red
 




Dititrasi dengan HCl
 


Perhitungan standardisasi HCl :
N HCl  =      2 x berat tetra-borat (mg)
                    BM tetra-borat x ml titrasi
            =             2 x 50 mg
                        282,38  x  13,1ml
            =          100
                     4271.456
            =     0.0200 N

2. Analisa N total Sampel dengan Metode Mikro Kjeldahl
100 mg sampel telur asin mentah dan telur asin
Ditambah campuran K2SO4 : HgO (20:1) 0,5-1 gram
Dibungkus dengan kertas saring
Dimasukkan dalam Labu Kjeldahl
Ditambah larutan H2SO4 pekat 3 mL
Destruksi di ruang asam hingga jernih
Oval: X
 


                                                                           

 




Didinginkan
 




Ditambah 10 mL aquades
Dididihkan dan dibilas dengan aquades

Destilasi                      15 mL NaOH-Na Thio
Destilat ditampung dalam erlenmeyer berisi
5 mL Asam Borat 4% dan 4 tetes BCG-MR
Destilat dititrasi dengan HCl 0,0234 N


3. Analisa Kecernaan Protein Secara In- Vitro (Tanaka, 1979 dalam Marsono, 1988)
        Sampel Telur asin mentah dan matang               Analisa N total
Bahan

Diambil 200 mg
Dilarutkan dalam 9 mL Buffer Walphole 0,2 N pH 2
Ditambah 1 mL enzim pepsin 2%
Diinkubasi dalam waterbath bergoyang selama 1,5 jam
Disentrifuse pada 3000 rpm selama 20 menit
 





Diambil supernatan, masukkan dalam tabung reaksi
Ditambah 5 mL TCA 20%, diamkan selama 1,5 jam
Saring dengan Whatman no.41                       Endapan
 


Filtrat
 


Analisa N Total Filtrat

4. Penentuan kadar air
botol timbang
 




















IV. PEMBAHASAN
Penentuan Kadar Air
Bahan
Kadar Air
% wb
% db
Telur bebek mentah tawar
69,4620
227,4638
Telur bebek mentah asin
64,5810
182,4941
        
            Dalam percoban ini digunakan sample bahan telur bebek mentah tawar dan Telur bebek mentah asin. Percobaan ini menggunakan metode pengeringan atau secara thermogravimetri. Adapun prinsip dari metode ini adalah menguapkan air dalam bahan dengan jalan pemanasan kemudian menimbang berat bahan hingga didapatkan berat yang konstan, yang berarti semua air telah diuapkan.
            Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan mengoven botol terlebih dahulu selama 1jam pada suhu 105oC dengan tujuan menguapkan air yang berada didalam maupun diluar dinding botol sehingga didapat berat botol yang bebas air. Selain itu juga bertujuan untuk menyesuaikan suhu pada botol timbang dengan suhu pada oven  mengingat hal ini sangat menetukan dalam perhitungan kadar air sample. Penggunaan  suhu 105oC adalah karena pada suhu ini semua air telah menguap yaitu 5o di atas titik didih air. Selain itu, pada suhu ini belum terjadi perubahan-perubahn sifat pada bahan seperti terjadinya karamelisasi pada gula, oksidasi pada lemak, oksidasi pada protein, dsb.
            Setelah dikeringkan, botol timbang bersifat higroskopis atau mudah menyerap uap air. Oleh karena itu, sebelum ditimbang dan diberi sample bahan, botol diletakkan dalam eksikator yang didalamnya terdapat zat yang mampu menyerap air yaitu berupa silica gel. Silica gel yang digunakan, sering diberi warna agar memudahkan apakah bahan tersebut sudah jenuh dengan air atau belum.
            Setelah sample bahan didinginkan dalam eksikator, dilakukan penimbangan sample dan botol dioven kembali pada temperature yang sama kurang lebih sekitar 2-3jam. Tujuan dari pengovenan ini adalah untuk menguapkan air yang terkandung dalam sample bahan baik itu air bebas maupun air yang terikat lemah dapat teruapkan semua. Akan tetapi, air yang terikat kuat sulit diuapkan Karena membentuk hidrat dengan molekul organic lainnya melalui ikatan ionic.
            Setelah pengovenan selasai, bahan bersama dengan botol timbang dimasukkan kedalam eksikator. Hal ini bertujuan untuk mendinginkan bahan dan botol timbang yang baru saja di oven agar tidak menyerap air dari udara bebas. Langkah selanjutnya adalah sample dan botol timbang di timbang menggunakan neraca analit hingga diperoleh berat konstan. Barat konstan ini dicapai bila perbedaan penimbangan yang satu dengan penimbangan selanjutnya memiliki selisih tidak lebih dari 0,2mg. Apabila berat konstan belum tercapai, maka botol timbang yang berisi sample bahan dimasukkan kedalam oven kembali kemudian dimasukkan ke dalam eksikator untuk didinginkan dan ditimbang kembali sampai didapatkan berat yang konstan.  
            Berdasarkan data hasil perhitungan didapatkan bahwa kadar air pada telur bebek mentah baik wb maupun db lebih tinggi daripada telur bebek asin. Pada telur bebek asin kandungan airnya lebih rendah disebabkan karena selama pengolahan telur asin direndam lebih dahulu didalam larutan garam, sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara bagian dalam dengan bagian luar. Adanya perbedaan konsentrasi ini mengakibatkan terjadinya osmosis yaitu keluarnya air dari bagian dalam telur ke luat sehingga kadar air pada telur asin  akan berkurang dan hasilnya menjadi lebih rendah.

Standarisasi Larutan Natrium Tetra Borat
Larutan Natrium Tetra Borat merupakan larutan sekunder, yaitu larutan yang mudah mengalami perubahan selama penyimpanan karena pengaruh pH rendah, sinar matahari, dan kontaminasi bakteri. Oleh karena itu larutan ini perlu distandarisasi untuk mengetahui normalitas sesungguhnya.
Adapun langkah yang dilakukan dalam proses standarisasi larutan Na Tetra borat adalah dengan cara menimbang 0,05 gram Natrium Tetra Borat dalam bentuk kristal lalu dimasukkan dalam Erlenmeyer dan ditambah aquadest sebanyak 10 ml dan 2 tetes indikator BCG-MR, setelah itu dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai warna merah jambu. Penggunaan indicator BCG-MR betujuan untuk memudahkan dalam pengamatan titik akhir titrasi. Dari hasil percobaan diperoleh normalitas larutan Natrium Tetra Borat 0,02 N.

Penentuan Protein Total
            Dalam penentuan protein cara Kjeldahl ini, kandungan unsur N yang didapatkan tidak hanya berasal dari protein saja. Mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini mewakili jumlah protein yang ada, sehingga disebut kadar protein kasar. Analisa protein total Kjeldahl terdiri atas tiga tahapan; destruksi, destilasi dan titrasi. Berikut kadar protein total sampel telur bebek mentah tawar dan asin yang diperoleh:

Sampel
Kadar protein (%)
wb
db
Telur bebek mentah tawar
14,0594
46,0389
Telur bebek mentah asin
17,7482
50,1091

Metoda Mikrokjeldahl
Prinsipnya adalah penentuan jumlah Nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan dengan cara mendegradasi protein bahan organik dengan menggunakan asam sulfat pekat untuk menghasilkan nitrogen sebagai amonia, kemudian menghitung jumlah nitrogen yang terlepas sebagai amonia lalu mengkonversikan ke dalam kadar protein dengan mengalikannya dengan konstanta tertentu. Disebut sebagai metode mikro (Mikrokjeldahl) karena ukuran sampel kecil, yaitu kurang dari 300 mg. Jika sampel yang digunakan lebih dari 300 mg disebut metode makro. Metode mikro digunakan pada bahan yang diduga hanya mengandung sedikit N. Analisa protein dengan metode Mikrokjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.
1)   Proses destruksi
Pada tahap ini, sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi penguraian sampel menjadi unsur-unsurnya yaitu unsur-unsur C, H, O, N, S, dan P. Unsur N dalam protein ini dipakai untuk menentukan kandungan protein dalam suatu bahan. 100 mg sampel yaitu kedelai, tepung terigu, dan kedelai ditambah dengan katalisator N 0,5-1 gram dibungkus dengan kertas saring untuk memudahkan dalam memasukkan ke dalam tabung reaksi besar, karena jika tidak sampel dan katalisator akan tercecer. Selain itu kertas saring juga berfungsi untuk menyaring filtrat dengan residu. Katalisator berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dengan menaikkan titik didih asam sulfat saat dilakukan penambahan H2SO4 pekat serta mempercepat kenaikan suhu asam sulfat, sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Katalisator N terdiri dari campuran K2SO4 dan HgO dengan perbandingan 20 : 1. Tiap 1 gram K2SO4 dapat menaikan titih didih 3 0C (Sudarmadji dkk., 1996). Karena titik didih tinggi maka asam sulfat akan membutuhkan waktu yang lama untuk menguap. Karena hal ini kontak asam sulfat dengan sampel akan lebih lama sehingga proses destruksi akan berjalan lebih efektif. Selain itu juga dibuat blanko dalam tabung reaksi besar yang berisi katalisator N dan 3 ml H2SO4 agar analisa lebih tepat. Blanko ini berfungsi sebagai faktor koreksi dari adanya senyawa N yang berasal dari reagensia yang digunakan.
Setelah ditambah katalisator N, sampel dimasukkan dalam tabung reaksi besar kemudian ditambah dengan 3 ml H2SO4 pekat. H2SO4 pekat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan dari adanya bahan protein. Asam sulfat yang bersifat oksidator kuat akan mendestruksi sampel menjadi unsur-unsurnya. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat. Penambahan asam sulfat dilakukan dalam ruang asam untuk menghindari S yang berada di dalam protein terurai menjadi SO2 yang sangat berbahaya. Setelah penambahan asam sulfat larutan menjadi keruh.
Tabung reaksi besar yang berisi sampel kemudian ditempatkan dalam alat destruksi (destruktor) dan ditutup. Setelah siap alat di-ON-kan dan akan terjadi pemanasan yang mengakibatkan reaksi berjalan lebih cepat. Sampel didestruksi hingga larutan berwarna jernih yang mengindikasikan bahwa proses destruksi telah selesai. Selama destruksi, akan terjadi reaksi sebagai berikut :
HgO + H2SO4                                     HgSO4 + H2O
2 HgSO4                               Hg2SO4 + SO2 + 2 On
Hg2SO4 + 2 H2SO4              2 HgSO4 + 2 H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4       CO2 + H2O + (NH4)2SO4
(Sudarmadji, 1996)
Alat destruksi bekerja berdasar prinsip lemari asam. Selama proses destruksi akan dihasilkan gas SO2 yang berbau menyengat dan dapat membahayakan jika dihirup dalam jumlah relatif banyak. Gas yang dihasilkan ini akan bergerak ke atas (tersedot penutup) dan akan disalurkan ke alat penetral. Alat ini terdiri dari dua larutan yaitu NaOH dan aquadest. Awalnya gas SO2 akan masuk dalam tabung yang berisi NaOH. Dalam tabung ini terjadi penetralan gas SO2 oleh larutan NaOH. Kemudian gas hasil penetralan tahap pertama masuk dalam tabung kedua yang berisi aquadest. Dalam tabung ini kembali terjadi penetralan sehingga diharapkan semua gas SO2 telah ternetralkan. Selain dibebaskan gas SO2 juga dibebaskan gas CO2 dan H2O sesuai dengan reaksi sebagai berikut :      panas
Bahan organik + H2SO                           CO2 + SO2 + (NH4)2SO4 + H2O
Proses destruksi dapat dikatakan selesai apabila larutan berwarna jernih. Larutan yang jernih menunjukkan bahwa semua partikel padat bahan telah terdestruksi menjadi bentuk partikel yang larut tanpa ada partikel padat yang tersisa. Larutan jernih yang telah mengandung senyawa (NH4)2SO4 ini kemudian didinginkan supaya suhu sampel sama dengan suhu luar sehingga penambahan perlakuan lain pada proses berikutnya dapat memperoleh hasil yang diinginkan karena reaksi yang sebelumnya sudah usai.
2)   Proses destilasi
Larutan sampel jernih yang telah dingin kemudian ditambah dengan aquadest  untuk melarutkan sampel hasil destruksi dan blankonya agar hasil destruksi dapat didestilasi dengan sempurna serta untuk lebih memudahkan proses analisa karena hasil destruksi melekat pada tabung reaksi besar. Kemudian larutan sampel dan blanko didestilasi dalam Kjeltec. Pada dasarnya tujuan destilasi adalah memisahkan zat yang diinginkan, yaitu dengan memecah amonium sulfat menjadi amonia (NH3) dengan menambah 20 ml NaOH-Na2S2O3 kemudian dipanaskan. Prinsip destilasi adalah memisahkan cairan atau larutan berdasarkan perbedaan titik didih. Fungsi penambahan NaOH adalah untuk memberikan suasana basa karena reaksi tidak dapat berlangsung dalam keadaan asam. Sedangkan fungsi penambahan Na2S2O3 adalah untuk mencegah terjadinya ion kompleks antar ammonium sulfat dengan Hg dari katalisator (HgO) yang membentuk merkuri ammonia sehingga membentuk ammonium sulfat. Kompleks yang terjadi ikatannya kuat dan sukar diuapkan. HgO merupakan senyawa yang sukar dipecah dan bersifat mudah meledak. Na2S2O3 berfungsi untuk mengendapkan HgO sehingga tidak mengganggu reaksi kimia selanjutnya.
Hg + aquadest + SO4                       HgSO4 + aquadest
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan oleh pemanas dalam alat Kjeltec. Selain itu sifat NaOH yang apabila ditambah dengan aquadest menghasilkan panas, meski energinya tidak terlalu besar jika dibandingkan pemanasan dari alat Kjeltec, ikut memberikan masukan energi pada proses destilasi. Panas tinggi yang dihasilkan alat Kjeltec juga berasal dari reaksi antara NaOH dengan (NH4)2SO4 yang merupakan reaksi yang sangat eksoterm sehingga energinya sangat tinggi. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai dalam percobaan ini adalah asam borat. Asam standar yang dapat dipakai adalah asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan.
Larutan sampel yang telah terdestruksi dimasukkan dalam Kjeltec dan ditempatkan di sebelah kiri. Kemudian alat destilasi berupa pipa kecil panjang dimasukkan ke dalamnya hingga hampir mencapai dasar tabung reaksi sehingga diharapkan proses destilasi akan berjalan maksimal (sempurna). Erlenmeyer yang berisi 5 ml asam borat 4 % + BCG-MR (campuran brom cresol green dan methyl red) ditempatkan di bagian kanan Kjeltec. BCG-MR merupakan indikator yang bersifat amfoter, yaitu bisa bereaksi dengan asam maupun basa. Indikator ini digunakan untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih. Selain itu alasan pemilihan indikator ini adalah karena memiliki trayek pH 6-8 (melalui suasana asam dan basa / dapat bekerja pada suasana asam dan basa) yang berarti trayek kerjanya luas (meliputi asam-netral-basa). Pada suasana asam indikator akan berwarna merah muda, sedang pada suasana basa akan berwarna biru. Setelah ditambah BCG-MR, larutan akan berwarna merah muda karena berada dalam kondisi asam.
Asam borat (H3BO3) berfungsi sebagai penangkap NH3 sebagai destilat berupa gas yang bersifat basa. Supaya ammonia dapat ditangkap secara maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini tercelup semua ke dalam larutan asam standar sehingga dapat ditentukan jumlah protein sesuai dengan kadar protein bahan. Selama proses destilasi lama-kelamaan larutan asam borat akan berubah membiru karena larutan menangkap adanya ammonia dalam bahan yang bersifat basa sehingga mengubah warna merah muda menjadi biru.
Reaksi yang terjadi :
(NH4)SO4  + NaOH             Na2SO4 + 2 NH4OH
                 2NH4OH             2NH3 + 2H2O
                 4NH3 + 2H3BO3                2(NH4)2BO3 +H2
Reaksi destilasi akan berakhir bila ammonia yang telah terdestilasi tidak bereaksi basis. Setelah destilasi selesai larutan sampel berwarna keruh dan terdapat endapan di dasar tabung (endapan HgO) dan larutan asam dalam erlenmeyer berwarna biru karena dalam suasana basa akibat menangkap ammonia. Ammonia yang terbentuk selama destilasi dapat ditangkap sebagai destilat setelah diembunkan (kondensasi) oleh pendingin balik di bagian belakang alat Kjeltec dan dialirkan ke dalam erlenmeyer.
3.Tahap titrasi    
Titrasi merupakan tahap akhir dari seluruh metode Kjeldahl pada penentuan kadar protein dalam bahan pangan yang dianalisis. Dengan melakukan titrasi, dapat diketahui banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia. Untuk tahap titrasi, destilat dititrasi dengan HCl yang telah distandarisasi (telah disiapkan) sebelumnya. Normalitas yang diperoleh dari hasil standarisasi adalah 0,02 N. Selain destilat sampel, destilat blanko juga dititrasi karena selisih titrasi sampel dengan titrasi blanko merupakan ekuivalen jumlah nitrogen. Jadi, banyaknya HCl yang diperlukan untuk menetralkan ekuivalen dengan banyaknya N. Titrasi HCl dilakukan sampai titik ekuivalen yang ditandai dengan berubahnya warna larutan biru menjadi merah muda karena adanya HCl berlebih yang menyebabkan suasana asam (indikator BCG-MR berwarna merah muda pada suasana asam). Melalui titrasi ini, dapat diketahui kandungan N dalam bentuk NH4 sehingga kandungan N dalam protein pada sampel dapat diketahui:


Kadar nitrogen (% N) dapat ditentukan dengan rumus :
% N  =  (ts – tb) x N HCl x 14,008     x 100 %
                      mg sampel
dengan ts : volume titrasi sampel
            tb : volume titrasi blanko
% protein (wb)  =  % N x fk
dengan     fk : faktor konversi / perkalian = 6,25
Dasar perhitungan penentuan protein menurut metode ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16 % (dalam protein murni). Karena pada bahan belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti maka faktor konversi yang digunakan adalah 100/16 atau 6,25.  Apabila pada bahan telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat maka faktor konversi yang digunakan adalah faktor konversi yang lebih tepat (telah diketahui per bahan) (Sudarmadji dkk., 1996).
            Dari hasil titrasi diketahui volume titrasi telur bebek mentah tawar (11,1 ml dan 10 ml) lebih kecil daripada telur bebek mentah asin (11,5 ml dan 13,7 ml) sehingga didapatkan %N dan kadar protein yang lebih besar pada telur bebek mentah asin.
            Hal ini sesuai dengan teori (anonim, 20054) dimana kandungan protein pada telur bebek mentah asin (13,6%) lebih besar daripada telur bebek mentah tawar (13,1%). Pada telur bebek mentah asin garam berfungsi sebagai pencipta rasa asin dan sekaligus bahan pengawet karena dapat mengurangi kelarutan oksigen (oksigen diperlukan oleh bakteri), menghambat kerja enzim proteolitik (enzim perusak protein), dan menyerap air dari dalam telur (Anonim, 20054). Kemungkinan besar adanya garam dalam mengikat air pada telur bebek mentah asin menyebabkan air yang biasa digunakan unruk reaksi proteolisis enzimatis terbatas selain juga mendenaturasi enzim proteolitik, sehingga kandungan proteinnya lebih tinggi daripada telur bebek mentah tawar.

Analisa Kecernaan Protein dan Kadar N Total Filtrat
Sampel
Kadar Total Filtrat
Daya Cerna (%)
% N
% P
Telur bebek mentah tawar
Telur bebek mentah asin
0,0274
0,0788
0,1712
0,4922
0,7949
12,0487

Penentuan kecernaan protein yang dilakukan pada percobaan menggunakan metode in vitro dengan menentukan kadar protein total dalam bahan makanan (kadar total awal) diikuti dengan penentuan kadar protein total dalam bahan makanan yang telah dicerna (kadar protein tercerna) oleh enzim. Penentuan kadar protein total dilakukan dengan metode Mikrokjeldahl. Daya cerna (%) dari protein yang terdapat dalam bahan makanan merupakan perbandingan antara kadar N total filtrat yang menunjukkan kadar protein tercerna total dengan kadar N total sampel yang menunjukkan protein awal total.
Analisis kecernaan protein dilakukan dengan metode in vitro menggunakan enzim pepsin. Proses pemecahan protein oleh enzim protease, pepsin, dilakukan menyerupai proses pencernaan (pengkondisian) seperti yang terjadi dalam lambung manusia dengan melakukan beberapa perlakuan. Pertama-tama sampel, yaitu telur bebek mentah tawar dan telur bebek mentah asin, diaduk bagian putih dan kuning telur dalam mangkok menggunakan pengaduk (sendok) hingga tercampur merata. Bagian kuning telur pada sampel telur asin mentah terlihat menggumpal karena proteinnya telah terdenaturasi dan terjadi penggumpalan. Sehingga ketika homogenisasi (pengadukan) gumpalan-gumpalan tersebut dihancurkan hingga tercampur dengan bagian putih telur.
Selanjutnya diambil masing-masing sebanyak 200 mg dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 9 ml buffer Walphole 0,2 N dan 1 ml enzim pepsin 2%. Penambahan buffer bertujuan untuk mengkondisikan sampel seperti dalam sistem pencernaan manusia. Lambung manusia memiliki kondisi yang hampir sama, yaitu kondisi asam, karena adanya sekresi asam lambung oleh sel-sel mukosa lambung. Asam lambung akan membuat pH dalam lumen sekitar 2-2,5 yang merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim pepsin (Rani, 2002). Sehingga pada pH ini merupakan kondisi optimum untuk bekerjanya enzim pepsin mengkatalisis hidrolisis protein pada sampel. Selain itu kondisi asam dalam lambung diperlukan untuk mengubah bentuk pepsinogen yang belum aktif menjadi pepsin aktif.
Langkah berikutnya adalah melakukan inkubasi dalam waterbath bergoyang selama 1,5 jam pada suhu +370C. Selama inkubasi akan terjadi hidrolisis protein oleh enzim pepsin. Kondisi inkubasi disesuaikan dengan kondisi lambung dimana suhu 37­0C merupakan suhu normal tubuh manusia. Waterbath goyang merupakan pengkondisian sampel yang menyerupai gerak peristaltik lambung yang berfungsi untuk menghomogenkan bahan (bolus) dengan getah lambung agar fungsi getah lambung optimal dan diperoleh campuran yang homogen.
Sampel kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan dua fraksi dalam campuran sampel berdasarkan gaya sentrifugal yang diberikan dan perbedaan besarnya massa (kaitannya dengan densitas). Komponen yang memiliki densitas lebih besar akan berputar pada posisi yang menjauh dari sumbu putaran. Sebaliknya yang lebih kecil akan berputar mendekati sumbu putar (Earle, 1983). Hasil dari sentrifugasi adalah supernatan (cairan) yang terpisah dari natan (padatan). Natan merupakan bagian yang tidak tercerna atau yang memiliki densitas lebih besar dibanding supernatan yang mengandung bagian yang telah tercerna membentuk polipeptida sederhana dengan densitas lebih kecil. Bagian natan dibuang sedang supernatannya diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan dalam tabung reaksi. Supernatan ditambah dengan 5 ml TCA (Trichloro Acetyc Acid) 20% selanjutnya didiamkan selam 1,5 jam. Namun pada pelaksanaan ketika praktikum pendiaman dilakukan selama 24 jam hingga percobaan hari berikutnya. Menurut Ajib (2002), perlakuan sentrifugasi dan penambahan TCA dimaksudkan untuk memisahkan bagian yang tercerna dengan bagian yang tidak tercerna (termasuk enzim protease yang digunakan).
Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman nomor 41 untuk memisahkan enzim dari protein yang tercerna. Filtrat yang dihasilkan selanjutnya dianalisis kandungan nitrogennya sehingga dapat ditentukan jumlah protein yang tercerna (Ajib, 2002). Metoda penentuan N total filtrat untuk mengetahui daya cerna protein sama dengan metoda yang digunakan pada penentuan N total bahan (kadar protein awal total), yaitu metoda Mikrokjeldahl. Makin tinggi kecernaan protein maka makin banyak jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh.
Dari percobaan diketahui daya cerna pada telur bebek mentah tawar 0,7949 % dan telur bebek mentah asin 12,0487 %. Hal ini menunjukkan bahwa protein pada telur mentah asin lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh dibandingkan protein pada telur mentah tawar. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna suatu protein meliputi kondisi fisik dan kimia bahan. Salah satunya adalah perbandingan asam amino yang menyusun protein. Protein yang sudah mengalami denaturasi akan mudah dicerna (Muchtadi, 1989).
Menurut Cantraow (1963), ada beberapa perlakuan yang dapat menyebabkan proses denaturasi, yaitu perlakuan fisik seperti panas, sinar UV, dan tekanan tinggi serta perlakuan kimia seperti pemberian perlakuan organik, asam, alkali, garam, dan detergen. Karena ruisaknya ikatan-ikatan yang membentuk konfigurasi molekul protein maka protein akan lebih mudah diserang oleh enzim protease. Selain itu, protein yang telah terdenaturasi lebih mudah dicerna karena struktur molekul protein berubah, lipatan molekul akan terbuka sehingga tempat penyerangan enzim menjadi lebih banyak. Enzim pepsin akan memecah protein menghasilkan pepton dan polipeptida yaitu sebagian protein yang lebih sederhana. Sehingga proses penyerapan protein telur asin menjadi lebih mudah.
Dari perhitungan hasil percobaan, diperoleh hasil kadar protein total pada Kedelai > Kacang tanah > Tepung terigu. Hal ini sudah sesuai dengan teori berdasarkan komposisi bahan meskipun terdapat selisih nilai kadar protein total dalam komposisi bahan dengan hasil percobaan. Selisih nilai ini dapat diakibatkan pengaruh lingkungan yang berbeda antar lingkungan percobaan dengan lingkungan penelitian pada pustaka ataupun perlakuan yang kurang cermat pada sampel.
Metode ini mengandung kelemahan karena dalam penentuan jumlah protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi, hal ini sulit sekali dilakukan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit. Penentuan jumlah N total tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein) karena terikut senyawaan N bukan protein, misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin (Sudarmadji dkk., 1996).















V. KESIMPULAN

1.      Kadar air pada telur itik mentah sebesar 69,4620% (wb) dan 227,4638% (db). Kadar air pada telur asin mentah sebesar 64,5810% (wb) dan 182,4941% (db).
2.      Daya cerna protein pada telur itik tawar adalah 0,7949% dan pada telur asim mentah sebesar 12,0487%.
3.      Protein pada telur mentah asin lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh dibandingkan protein pada telur mentah tawar. Daya cerna protein pada telur asin mentah lebih besar dari pada telur itik mentah karena pada telur asin mentah mengalami denaturasi akibat penggaraman dan kerja mikrobia yang ada dalam telur tersebut yang nantinya dapat memecah protein menjadi asam-asam amino dalam telur asin mentah tersebut.
4.      Kadar protein sampel pada telur itik mentah sebesar  14,0594% (wb) dan 46,0389% (db) sedangkan kadar protein sampel telur asin mentah 17,7482% (wb) dan 50,1091% (db).
5.      Kadar protein filtrat pada telur itik mentah adalah  N = 0,0274% dan P = 0,1712% sedangkan pada telur asin mentah N=0,0788% dan P=0,4922%.     


                                                                              Yogyakarta, 1 April 2006
Asisten                                                                              Praktikan



 Novi Akhsani                                                                   Rr. Wirastuti                          
                                                                                                Apriadi Panca N.J.                 
                                                                                                Yaniek Amanati P.                 
                                                                                                Sitirahayu                               
                                                                                                Rr. Pramilih Wahyu N.          
                                                                                                Notiana W.                             
                                                                                                Dyah Ayu                              





DAFTAR PUSTAKA

Anna Poedjiadi, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta.

Del Valle, F.R. 1981. Nutritional Qualities of Soya Protein as Affected by Processing. JAOCS. 58 : 519

Lehninger.A.L, 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga, Jakarta

Ophart, C.E., 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College.

Muchtadi, 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jenderal Pendidikan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Bogor.

Narasinga, Rao. 1078. Analysis In Vitro methode for Predicting the Bioavailability of Iron From Food. The American Journal of Clinical Nutrition.

Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta.

Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia: Jakarta.



http://www.greatvistachemicals.com3


0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
Matur Suwun Atas Kunjungannya, Semoga Bermanfaat!!! Salam Semangat Berkarya!!!