TALFIQ DALAM PERMASALAHAN MADZHAB
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh
Dosen Pengampu : Amin Farih, M.Ag
Disusun oleh :
Nama : Muh. Khabib
NIM : 103711033
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini ,ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, dan mengklaim kebenaran. Padahal para Imam besar itu tak pernah menganut madzhab tertentu apalagi mengkalimnya. Sebut saja namanya Fulan, saat ini melangsungkan ijab-qabul dengan gadis pujaanya, Fulan menikahi tanpa kehadiran wali si gadis, ketika ia ditanya alasannya, Fulan menjawab, “saya berpegang kepada madzhab Imam Hanafi, yang membolehkan menikahi seorang gadis tanpa wali”.
Pernikahan itu pun berjalan aman dan lancar, hingga suatu ketika, entah karena setan sedang menguasai dirinya atau memag istrinya yang tidak menjalankan kewajibannya, terlontarlah sebuah lafadz yang mampu menggetarkan arsy Allah, thalak (cerai), tak tanggung-tanggung, si Fulan langsung menthalak tiga istrinya dengan satu lafadz thalak. Saat ia ditanya lagi, ia menjawab,”Dalam kasus thalak ini saya berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, yang menganggap sah satu lafadz denga niat thalak ba’in (thalak tiga yang mengharamkan ruju’ kecuali setelah istrinya menikah dan dicerai oleh orang lain)”. Menilik kasus diatas, mungkinkah terjadi dalam kehidupan nyata? Jawabannya, sangat mungkin, karena dipicu oleh bebrapa faktor penyebab; Pertama: Kejahilan seseorang dalam memahami ajaran agamanya, Kedua, Keinginan nafsunya yag ingin menang dan benar sendiri dengan mencari legitimasi atas perilaku salahnya, Ketiga, Lingkungan pemahaman dan pengalaman Islam yag kurang sehat, dimana ia setiap hari beraktifitas di dalamnya.Gambaran cerita di atas menggambarkan peristiwa talfiq, apa itu talfiq, bagaimana hukumnya, dan bagaimana pendapat para ulama tentangnya, akan dibahas dalam makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apakah pengertian talfiq?
B. Bagaimana hukum talfiq dalam fiqh?
C. Bagaimana hukum memilih yang ringan dalam talfiq?
D. Bagaimana kontroversi tentang pelarangan talfiq?
E. Talfiq seperti apa yang dilarang dalam hukum islam?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian talfiq
Kata talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan. Sedangkan talfiq menurut terminolgi (istilah) Talfiq adalah menghasilkan suatu cara yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid[1]. Talfiq dilakukan dengan cara mencampurkan beberapa pendapat para mujtahid sekaligus dalam satu bentuk ibadah sehingga dihasilkan pendapat yang sama-sekali tidak sama dengan pendapat masing-masing mujtahid yang dirujuknya.
Contoh taklid adalah sebagai berikut: seorang perempuan menikah dengan bocah laki-laki berumur sembilan tahun dengan maksud menjadikannya muhallil dengan bertaklid pada Imam Syafi’i dalam kesahan nikahnya sampai dikumpuli, kemudian bercerai dan meniadakan iddah dengan mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal hingga suami pertama bisa menikah lagi dengan perempuan tersebut.[2]
B. Hukum talfiq dalam fiqh
Tentang hukum talfiq ini, pendapat para ulama dapat dipetakan menjadi dua pendapat, yaitu:
a. Melarang secara mutlak
Kebanyakan ulama melarang melakukan talfiq karena kebiasaan umat muslim terdahulu yang tidak pernah melakukan talfiq, tapi bila mengikuti seorang Imam, maka seluruh pendapat Imam tersebut diikuti. Bahkan talfiq sendiri baru dibahas di kalangan ulama pada abad ujuh hijriah.[3] Ulama-ulama melarang ini jumlahnya sangat banyak sehingga sebagian dari mereka mengaku bahwa pelarangan talfiq adalah ijma’.[4] Namun klaim ijma’ ini sebenarnya tidak valid karena yang dimaksud sebenarnya adalah pendapat mayoritas saja. Secara sderhana, logika mereka adalah seorang muqallid harus mengikuti pendapat seorang mujtahid dalam kasus tertentu sehingga tindakannya dapat dibenarkan. Apabila dia mengikuti berbagai pendapat sekaligus dalam hal yang sama dan waktu yang sama, maka tentu saja tindakannya dapat dibenarkan oleh masing-masing mujtahid yang diikutinya, sedangkan statusnya sebagai pengikut, bukan pencetus hukum.
b. Memperbolehkan
Pendapat kedua ini adalah minoritas ulama seperti al-Kamal bin al-Hamam dan muridnya yang bernama Ibn Amir al-Haj. Mereka berpendapat bahwa seorang muqallid diperbolehkan untuk bertaqlid pada siapapun yang diinginkan, meskipun seorang yang bukan kujtahid mengambil pendapat mujtahid yag termudah baginya dan tidak ada akal dan teks yang menghalangi hal tersebut. Manusia sejatinya mengikuti pendapat paling ringan dari seorang mujtahid yang boleh diikuti dan tidak ada celaan dari syariat tentang itu dan bahkan Rasul menyukai apa yang mudah bagi umatnya.[5]
Prof. Dr. Sjechul Hadi mengatakan bahwa tidak ada larangan talfiq, tidak ada dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, maupun Qiyas yang kuat yang melarang talfiq. Para sahabat, tabi’in, para imam mazhab empat, dan para imam mujtahidin tidak pernah melarang suatu perbuatan dari mazhab orang lain. Seseorang boleh bertanya suatu masalah kepada seorang mujtahid, tanpa diharuskan untuk mengamalkan fatwanya dan tanpa dilarang untuk mengikuti fatwa mujtahid lain. Orang bebas memilih dan mengamalkan salah satu fatwa yang dipilih.[6]
Alasan lainnya adalah: bila talfiq yang dihasilkan dari ijtihad dibenarkan, maka seharusnya talfiq dari taklid juga dibenarkan karena taklid adalah cabang dari ijtihad. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa setiap mujtahid yang ditaklidi akan menyalahkan tindakan hasil talfiq itu, maka termasuk argumen yang tidak tepat. Seorang mujtahid hanya dapat menyalahkan bila masalah itu dipandang dari sudut pandangnya sendiri, namun bilamuqallid melakukannya karena mengikuti mujtahid lain, maka mujtahid tersebut tidak bisa mengatakan bahwa ibadah itu batal dilakukan muqallid .[7]
Kalau kita amati dengan seksama, talfiq sebenarnya bukan pencampur-adukan hukum seperti yang banyak dikira orang, sebagai contoh: bila seseorang shalat jumat dengan mengikuti cara Shafi’iyah yang tidak mengharuskan hidung menyentuh lantai ketika bersujud, terbukanya telapak tangan ketika sujud, dan juga tidak mensyaratkan adanya niat keluar dari shalat, wudlu’nyapun membasuh sebagian kepala saja mengikuti Shafi’iyah, tetapi jumlah orangnya hanya dua belas orang saja dan kulitnya telah bersentuhan dengan kulit perempuan bukan mahram dengan mengikuti pendapat Hanafiyah, maka sebenarnya dia sedang mengerjakan banyak tindakan hukum yang masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri dan bukannya satu tindakan hukum saja. Keharusan hidung menyentuh lantai mempunyai dalilnya sendiri, niat keluar dari shalat mempunyai dalilnya sendiri dan seterusnya, sehingga sesungguhnya tidak ada pencampur-adukan.
Bila seseorang merasa bahwa dalil mazhab lain pada bagian tertentu lebih kuat dari dalil mazhabnya, maka sama sekali tidak ada masalah dengan itu. Bila karena kemampuannya yang kurang seorang muqallid sama sekali tidak mampu mentarjih, maka dia berhak untuk bertaklid pada siapapun yang layak tanpa bisa disalahkan.
Seperti yang sudah disebutkan, semua dalil yang dapat mendukung taklid, akan dapat digunakan untuk mendukung talfiq. Adapun kekhawatiran para ulama terhadap talfiq sebenarnya telah dapat direspons dengan pemberian batasan talfiq yang telah disebutkan. Larangan untuk mengambil pendapat yang termudah secara mutlak juga tidak mempunyai dasar yang kuat karena telah maklum bahwa agama islam ini didirikan atas kaidah kemudahan dan peniadaan kesulitan.
Pendapat kedua ini, yakni yang memperbolehkan talfiq īm al-Rūmy al-Mūry dalam karyanya yang secara khusus membahas tentang*ūl fiqhnya dan Muhammad bin ‘Abd al-‘Az*ūl fiqhnya, Wahbah al-Zuhaily dalam kitab us*dengan beberapa catatan, didukung oleh Sjechul Hadi Permono dalam buku us talfiq, yaitu: al-Qaul al-Sadīd Fī Ba’di Masā’il al-Ijtihād wa al-Talfīq.[8][
Menurut Wahbah, kebolehan bertalfiq ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu menghindari hal-hal berikut:
1) Mencari yang teringan saja dengan sengaja tanpa ada darurat atau uzur. Ini dilarang untuk menutup pintu kerusakan dengan lepasnya taklif.
2) Talfiq yang dilakukan berakibat pada pembatalan hukum hakim, sedangkan hukum seorang hakim mengakhiri perkara.
3) Talfiq yang mengharuskan rujuk dari apa yang telah dilakukannya secara bertaklid atau dari perkara yang telah disepakati ulama yang pasti ada pada kasus yang ditaklidinya, seperti dalam kasus-kasus mu’amalah, hudud, pembagian harta rampasan dan pajak dan pernikahan. Dalam hal-hal tersebut dilarang talfiq karena menjaga maslahah.[9]
Kalau kita merenung secara mendalam tentang falsafah pembinaan hukum Islam, hikmah dan rahasia-rahasia shari’ah dari kajian al-Qur’an dan al-Sunnah yang berkenaan dengan talfiq ini, maka kita dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Talfiq yang akibatnya menyalahi putusan pemerintah dilarang karena:
حكم الحاكم يلزم و يرفع الخلاف
“Putusan pemerintah itu compulsary (mengharuskan) dan menghilangkan khilaf, )demi menghindarkan anarki( “.
2) Talfiq untuk mencari-cari pendapat yang enteng (tatabbu’ al-rukhsah fi al-mazhab), bukan karena tuntutan situasi dan kondisi, semata-mata karena tuntutan hawa nafsu, tentu dikutuk oleh shara’, hal yang terlarang, karena shara’ menuntut pembebasan manusia dari rayuan hawa nafsu. Namun, kalau tatabbu’ al-rukhsah fi al-mazhab(mencari-cari pendapat yang enteng) itu sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, demi menikmati kemurahan Allah swt., maka perilaku tersebut termasuk dalam kategori terpuji dalam rangka mensyukuri nikmat dari Allah swt.
3) Bidang talfiq berkisar pada masalah-masalah furu’ masalah-masalah ijtihadi, masalah-masalah zanni. tidak boleh pada bidang akidah, iman, akhlak dan semua ajaran agama yang pokok yang secara pasti dapat diketahui dengan mudah.
4) Dalam kaitannya dengan hukum talfiq, furu’ shar’iyah (fiqh) dibagi menjadi tiga macam:
1. Furu’ yang berdasar atas kemudahan dan kelonggaran, serta bervariasi karena bervariasinya keadaan mukallaf (subyek hukum). Furu’ ini adalah ‘ibadah mandah (ritual murni). Di dalam bidang ini, diperbolehkan talfiq, manakala dibutuhkan, karena gantungan furu’ ini adalah tunduk patuh kepada perintah Allah swt. dengan tanpa adanya kesulitan dan kerepotan. Adapun di dalam `ibadah maliyah (keharta-bendaan), hukumnya harus diperketat, prinsip ikhtiyat (hati-hati) harus diterapkan, untuk menghindarkan terbengkalainya hak-hak para fakir miskin. Wajib zakat (muzakki) tidak boleh talfiq yang menjurus kepada terbengkalainya hak fakir miskin.
2. Furu’ yang didasarkan atas kehatihatian. Furu’ ini berupa larangan-larangan. Allah swt. tidak akan melarang sesuatu melainkan karena sesuatu itu berbahaya. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan talfiq yang mengakibatkan kelonggaran, kecuali karena adanya darurah shar’iyah. Sebab, darurah shar’iyah itu bisa memperbolehkan larangan. al-Darurah tubzih al-mahzurat terhadap larangan yang berhubungan dengan hak-hak sesama manusiapun dilarang melakukan talfiq, demi pemeliharaan hak orang lain dan pencegahan dari perlawanan hak sesama manusia.
3. Furu’ yang digantungkan pada kemaslahatan umat, yaitu Furu’ mu’amalah, hudud, melaksanakan kewajiban harta benda, dan munakahat. Dalam bidang ini diperbolehkan talfiq, bahkan pada suatu ketika diwajibkan talfiqdalam rangka pemeliharaan terhadap al-kulliyah al-khums/al-usul al-khums (lima pokok), yaitu memelihara agama, jiwa, keturunan, akal fikiran, dan harta benda. Talfiq diharamkan, manakala bertentangan dengan pemeliharaan lima pokok tersebut, seperti dilarang talfiq yang akan mempermainkan persoalan nikah dan talaq, demi hak-hak kaum wanita dan memelihara keturunan.[10]
C. Hukum memilih pendapat yang ringan
Dalam permasalahan talfiq kita tidak diperbolehkan mengambil pendapat yang ringan dengan unsur kesengajaan atau tanpa kedaruratan, karena barang siapa yang mengambil kemudahan dengan cara ini maka dihukumi fasiq, menurut pendapat sebagian ulama`. Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama` yang lain , tidak menghukumi fasiq apabila menjelaskan perbedaan ulama` pada masalah-masalah tersebut.
Sedang menurut Imam Ghozali dan pendapat yang al-Ashoh menurut Malikiyyah dan Hanabilah, yaitu melarang praktek mengambil pendapat yang ringan tersebut di dalam madzhab-madzhab, karena hal tersebut condong pada pengikutan hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya dan tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Imam Ibnu Abdu Al-Barr dan Ibnu Hazm berpendapat, tidak diperbolehkan kepada orang awam mengikuti pendapat yang ringan-ringan secara keseluruhan, dikarenakan menyebabkan pemutusan pembebanan disetiap masalah yang diperselisihkan didalamnya.
Sebagian ulama’ Malikiyyah yang dipelopori oleh imam Al-Qorofi dan juga mayoritas ulama` Syafi`iyyah, serta pendapat yg rojih menurut ulama` Hanafiyyah, yaitu berpendapat memperbolehkan mengikuti pendapat yang ringan dari berbagai madzhab. Karena tidak adanya nash yang shorih yang melarang hal tersebut dan juga memberikan jalan kemudahan atas manusia, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah” . Tentang hal kebolehan mengambil pendapat yang mudah ini imam Al-Qarafi mensyaratkan, tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang telah diikutinya.
Sebenarnya qoyyid (catatan) yang telah disebutkan di atas tadi bukan dalil yang diambil dari nash Al-Qur`an maupun ijma` para ulama’, melainkan qoyyid mutaahhir (yang disebutkan di belakang), sebagaimana yang pernah di utarakan imam Ibnu Al-Hammam di dalam kitab Al-Tahrir beliau, ketika diperbolehkannya seseorang berbeda pendapat dengan sebagian mujtahid di setiap pendapat yang dilontarkannya, maka sebagian mujtahid itu pun diperbolehkan berbeda pendapat dengan pendapat seseorang tersebut, dan itu lebih utama. Dan adapun pendapat dari imam Ibnu Abdi Al-Barr tadi, yang menyatakan bahwasannya tidak diperbolehkannya seorang yang awam mengambil pendapat yang ringan, maka tidak dibenarkan pengambilan pendapat seperti itu tadi, meski selamat maka tidak dibenarkan juga menurut ijma’ dan dihukumi fasiq bagi seseorang yang mengambil pendapat yang mudah di antara salah satu dua riwayat tersebut.
Sebenarnya qoyyid (catatan) yang telah disebutkan di atas tadi bukan dalil yang diambil dari nash Al-Qur`an maupun ijma` para ulama’, melainkan qoyyid mutaahhir (yang disebutkan di belakang), sebagaimana yang pernah di utarakan imam Ibnu Al-Hammam di dalam kitab Al-Tahrir beliau, ketika diperbolehkannya seseorang berbeda pendapat dengan sebagian mujtahid di setiap pendapat yang dilontarkannya, maka sebagian mujtahid itu pun diperbolehkan berbeda pendapat dengan pendapat seseorang tersebut, dan itu lebih utama. Dan adapun pendapat dari imam Ibnu Abdi Al-Barr tadi, yang menyatakan bahwasannya tidak diperbolehkannya seorang yang awam mengambil pendapat yang ringan, maka tidak dibenarkan pengambilan pendapat seperti itu tadi, meski selamat maka tidak dibenarkan juga menurut ijma’ dan dihukumi fasiq bagi seseorang yang mengambil pendapat yang mudah di antara salah satu dua riwayat tersebut.
Imam Syafi’i berkata “Jika kalian mendapati dalam kitabku, pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku”.
Imam Ahmad berkata, ”Janganlah kalian bertaqlid (mengikuti/membeo tanpa tahu dasar rujukannya) kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al Auza’i, Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.
Imam Ahmad berkata, ”Janganlah kalian bertaqlid (mengikuti/membeo tanpa tahu dasar rujukannya) kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al Auza’i, Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.
Kesimpulannya, setelah ditelaah maka akan didapatkan bahwa madzhab utama para Imam madzhab tersebut terdiri atas tiga prinsip utama ; Pertama, Keshahihan (validitas) hadits dari rasulullah SAW, Kedua, Jika pendapat mereka bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, maka mereka akan meninggalkan pendapat mereka dan selanjutnya mengambil pendapat Rasulullah SAW, Ketiga, Jika ada hadits shahih yang bertentangan dengan pendapat mereka dalam suatu masalah, maka mereka akan menarik/mencabut pendapat mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal.
Sehingga tak heran, bila terjadi seorang pengikut salah satu madzhab, justru berpendapat dengan pendapat Imam madzhab lain, seperti terjadi saat Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ yang lebih berpendapat bahwa penafsiran shalat wustha dalam Al Qur’an adalah shalat ashar berdasarkan sebuah hadits shahih dari Rasulullah SAW dari pada pendapat lain yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat shubuh. Padahal penafsiran shalat wustha dengan shalat shubuh adalah pendapat Imam Syafi’i dimana Imam Nawawi merupakan pengikut Imam Syafi’i (As-Syafi’iyyah). Disini nampak betapa jernih dan rasionalnya cara berfikir Imam Nawawi, jauh dari kesan ‘ashabiyyah.
Mereka lebih mengedepankan nash-nash yang shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam diatas semua pendapat manusia, mereka lebih mengutamakan prilaku dan tindakan Rasulullah dari tindakan siapapun juga karena kedudukan dan martabat Rasulullah jauh lebih tinggi dari kedudukan dan martabat siapapun juga. Betapa tegas dan elegannya pendapat ini sebab pendapat semacam ini akan membuat hati kaum Mu’minin dingin dan tenang karena kebenaran kembali kepada posisinya yang semula.
Contoh kisah diatas adalah sebuah contoh dari talfiq (mencampuraduk madzhab) dalam konotasi yang negatif, dimana si Fulan begitu mudahnya berpindah madzhab, bukan lantaran mengikuti pendapat yang lebih rajih (kuat) tapi lebih karena memilih pendapat madzhab yang sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya, inilah yang harus kita hindari.
Adapun talfiq dalam pengertian yang positif sebagaimana dipraktekkan oleh para imam madzhab, adalah sebuah keniscayaan dimana setiap Muslim dan Muslimah dituntut untuk mengetahui dan mengamalkannya dalam prinsip ; Muslim bermadzhab “In shahhal hadiitsu fahuwa madzhabi (Jika ada hadits yang lebih shahih, maka itu adalah madzhabku ....”.
D. Kontroversi tentang pelarangan talfiq
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah tafiq, sebagian mereka melarang secara mutlak, sebagian lagi membolehkan secara mutlak, dan sebagian yang lain lagi membolehkannya secara bersyarat. Ulama yang melarang talfiq secara mutlak mengemukakan argumen bahwa membolehkan berpindah-pindah madzhab akan berdampak pada timbulnya kekacauan dalam beragama, atau akan terbuka sikap memilih-milih pendapat untuk menghindari beban talfiq. Contohnya seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar. Atau kasus ibadah shalat misalnya, sebagian mengatakan wudhunya batal dengan sentuhan antara laki-laki dan perempuan tetapi tidak batal dengan keluar darah semisal mimisan, dan sebagian lagi mengatakan wudhunya batal dengan keluar darah semisal mimisan tetapi tidak batal dengan sentuhan antara laki-laki dan perempuan, kemudian seorang muqallid shalat setelah menyentuh perempuan dan mengeluarkan darah dari mimisan.
Ulama yang membolehkan talfiq secara mutlak mengemukakan alasan bahwa secara syar’ie setiap orang awam boleh bertanya kepada siapa saja asalkan orang ‘alim, dan orang awam boleh mengamalkan pendapat yang manapun tanpa harus mengikuti madzhab tertentu, karena orang awam tidak punya madzhab (al-‘amie laa madzhaba lahum). Demikian telah berjalan semenjak masa Rasulullah masih hidup sampai masa sahabat, tabi’in dan masa-masa seterusnya, tidak ada larangan apapun.
Sedangkan Ulama yang embolehkan talfiq secara bersyarat, yaitu harus satu qadhiyah, atau satu perkara atau satu urusan tertentu. Misalnya perkara shalat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, perkara zakat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, dan perkara-perkara agama lainnya. Dasar pemikiran pendapat ini sama dengan pendapat pertama, yaitu agar dapat menghindari terjadinya kekacauan dalam beragama.
E. Talfiq yag dilarang dalam hukum Islam
Tidak semua talfiq itu boleh secara mutlaq, talfiq yang dilarang ada 2 macam :
1. Bathil Lidzatihi, talfiq yang mengarah kepada yang haram seperti khamr, zina dan sebagainya.
2. Mahdzurun La Lidzatihi, terbagi menjadi beberapa macam :
Mengambil atau mengikuti pendapat-pendapat yang mudah dari setiap madzhab, tanpa ada udzur tertentu.
Talfiq yang mengharuskan kembali kepada perbuatan taqlid.[11]
IV. KESIMPULAN
Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bermazhab adalah konsekuensi dari ketidakmampuan untuk berijtihad sendiri secara independen. Dengan demikian, tidak ada celaan bagi mereka yang bermazhab. Bermazhab juga tidak harus tertentu pada satu mazhab saja, namun boleh berpindah-pindah pada mazhab manapun dalam mazhab empat atau mazhab lainnya bila sumber yang diikuti valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun bila seorang muqallid mencampurkan beberapa pendapat menjadi satu dalam satu iah(qad hukum sehingga hasilnya tidak diakui oleh masing-masing imam yang diikuti, maka kebanyakan ulama melarang hal tersebut, namun sama sekali tidak ada alasan yang dapat diterima untuk itu sehingga boleh saja hal tersebut dilakukan, selama tidak melawan keputusan hakim, murni mengikuti hawa nafsu tanpa adanya kebutuhan, atau berkenaan dengan hal-hal mu’amalat yang membutuhkan kepastian hukum yang tegas untuk menegakkan maslahat.
V. PENUTUP
Demikian makalah ini dibuat, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar makalah kedepan dapat lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
[1] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), hlm. 135.
[2] Ibid, 1143.
[3] Wabah, al-Fiqh al-Islamy, hlm. 142
[4] ‘Abd al-Hamid al-Sharwany, awashi al-Sharwany ‘Ala Tuhfah al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 431.
[5] Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, hlm. 147.
[6] Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, (Surabaya: Demak Press, 2002), hlm. 35.
[7] Al-Rumy al-Mury, Muhammad bin ‘Abd al-‘Az al-Qaul al-Sadīd Fī Ba’di Masā’il al-Ijtihād wa al-Talfīq, (Kuwait Dār al-Da’wah, 1988), hlm. 95.
[8] Ibid, hlm. 94.
[9] Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, hlm. 148-153.
[10] Sjechul, hlm. 36-37
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sharwany, ‘abd al-Hamid, Awashi al-Sharwany ‘Ala Tuhfah al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985)
Al-Zuhali, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986)
Hadi Permeno, Sjechul, Dinamisasi Hukum Islam Dalam menjawab Tantangan Era Globalisasi, (Surabaya, Demak Press, 2002)
http://situswahab.wordpress.com/2011/05/14/mazhab-taklid-dan-talfiq/, di unduh14-04-2012/13.00
0 komentar:
Posting Komentar