Welcome to Kreasi El-Habib's Blog

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK ARSITEKTUR

Rabu, 24 September 2014


I.                   PENDAHULUAN
Sejak Islam masuk di Jawa, Islam bertemu dengan nilai-nilai Hindu Budha yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Tentu saja nilai-nilai dari Hindu- Budha pun sebelumnya telah mengakomodasi nilai religi animisme dan dinamisme sebagai nilai yang telah ada. Percampuran nilai tersebut yang kemudian disebut sebagai nilai- nilai kebudayaan Jawa.
Ketika Islam datang dan berinteraksi dengan nilai-nilai lama tersebut, masyarakat sering menyebutnya sebagai nilai- nilai kebudayaan Jawa. Nilai- nilai kebudayaan yang berkembang juga menyangkut bidang arsitektur. Mark R. Woodward (1985) mengatakan bahwa Islam Jawa bagaimanapun juga berakar pada tradisi dan teks suci Islam itu sendiri. Menurutnya penting untuk mengetahui pola hubungan simbolik antara teks suci dan situasi historis umat Islam, sehingga kita bisa melihat kehadiran arsitektur yang memadukan nilai Islam (di Timur Tengah) dengan karakteristik lokal (Jawa)  yang sudah berkembang. Menurut Jauharotul Huda pemikiran Mark R. Woodward di atas mengindikasikan sebagai salah satu produk budaya arsitektur di Jawa juga meupakan bagian dari interpretasi teks dalam kehidupan orang Jawa yang menyejarah.
Pandangan di atas akan membantah opini dimana Islam Jawa sering dipandang sebagai Islam sinkretik atau Islam nominal, yang konsekuensinya Islam Jawa bukanlah Islam dalam arti sebenarnya atau ‘kurang Islam’, bahkan ‘tidak islam’. Oleh karena itu, penting pula memahami interrelasi Islam Jawa pada bidang arsitektur. Mengingat arsitektur (secara fisik) menunjukkan keberadaan perkembangan budaya suatu daerah. Misalnya dari bangunan tempat ibadah, makam, tata ruang kota, dll. Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas mengenai interrelasi Islam dan budaya Jawa pada aspek arsitektur.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Arsitektur Islam?
B.     Bagaimana Sejarah Arsitektur dalam Islam?
C.     Apa Saja Macam-macam Arsitektur Jawa Islam?
D.    Bagaimana Pola Internalisasi Arsitektur Jawa Islam?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Arsitektur Islam
Kata Arsitektur berasal dari bahasa Yunani, yaitu : architekton yang terbentuk dari dua suku kata, yakni arkhe yang bermakna asli, awal, otentik, dan tektoo yang bermakna bediri stabil, dan kokoh. Arsitektur Islam adalah Ilmu dan seni merancang bangunan, kumpulan bangunan, struktur lain yang fungsional, dan dirancang berdasarkan kaidah estetika Islam.[1]
Secara singkat, arsitektur adalah pengetahuan seni merancang (mendesain) bangunan. Adapula yang mengartikan, arsitektur merupakan perkara bangun-membangun, perkara merangkai dan menegakkan bahan satu dengan bahan lain untuk melawan gravitasi yang cenderung menarik rebah ke tanah.
Sedangkan arsitektur Islam adalah arsitektur yang berangkat dari konsep pemikiran Islam. Inti dari ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa arsitektur Islam juga memiliki inti yang sama. Dalam kategori ini arsitektur Islam yang dimaksud terkait dan terikat dengan suatu zaman atau periode tertentu atau kaum tertentu, jadi dapat dikatakan arsitektur Islam adalah abadi dan borderless atau tidak terbatas pada daerah tertentu bagi kaum tertentu.
Arsitektur Islam sebagai cerminan budaya sosial kultural ummah (masyarakat Islam) yang tengah berkembang pada periode waktu dan tempat tertentu (selanjutnya kita sebut arsitektur budaya Islam Jawa).
Hasil karya utama dalam seni arsitektur Islam adalah masjid sebagai konsekuensi dari ajaran Islam yang mengajarkan shalat dan masjid sebagai tempat pelaksanaannya. Kemudian muncul bangunan-bangunan lain di luar masjid yang juga masih merupakan rangkaian ungkapan kehidupan Islam sebagai fasilitas yang menampung kebutuhan manusia, yaitu istana- istana, bangunan benteng pertahanan, dan makam- makam.
B.     Sejarah Arsitektur dalam Islam
Asal mula pertumbuhan arsitektur Islam terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyid. Sejarah arsitektur Jawa- Islam sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal masuknya Islam di Jawa. Mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni arsitektur, diantaranya adalah bangunan masjid. Dalam sejarah peradaban agama Islam, masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam, yakni dengan dibangunnya masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebagai masjid pertama yang dibangun.
Sementara itu, sebelum Islam masuk di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli Jawa maupun jenis bangunan lain seperti di kuburan, candi, keraton, dll.
Oleh karena itu ketika Islam masuk di Jawa, arsitektur Jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol- simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Muslim Jawa dalam karya arsitektur.

C.    Macam-macam Arsitektur Jawa Islam
Banyak arsitektur jawa yang bercorak Islam, dimana terjadi asimilasi diantara dua kebudayaan tersebut,diantaranya:
1.      Masjid sebagai manifestasi keyakinan
Interrelasi Islam dalam arsitektur Jawa sebenarnya sudah terjadi sejak awal Islam masuk Jawa. Salah satunya adalah Masjid. Masjid secara literal, berasal dari sajada (bersujud), yang berarti tempat sujud. Sedangkan sujud adalah bagian terpenting dalam ibadah shalat. Hal yang dibebankan kepada muslim setiap hari lima kali. Secara tidak langsung, masjid merupakan bukti kepatuhan hamba kepada Sang Khalik. Maka keberadaannya cukup urgen. Masjid juga dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam.
Dalam sejarah Islam, masjid yang pertama kali di bangun oleh Rasul adalah Masjid Quba. Awal keberadaannya berbentuk sangat sederhana sekali, dengan lapangan terbuka sebagai intinya dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat.[2] Serta di tengah- tengah lapangan terdapat sumber air untuk tujuan bersuci. Masjid Quba juga keberadaannya menjadi tempat yang lapang untuk beribadah dan berkumpul. Sedangkan dalam corak bentuk utuhnya mengalami perkembangan. Masjid ini memiliki 19 pintu. Dari 19 pintu itu terdapat tiga pintu utama dan 16 pintu. Tiga pintu utama berdaun pintu besar dan ini menjadi tempat masuk para jamaah ke dalam masjid. Dua pintu diperuntukkan untuk masuk para jamaah laki-laki sedangkan satu pintu lainnya sebagai pintu masuk jamaah perempuan. Diseberang ruang utama masjid, terdapat ruangan yang dijadikan tempat belajar mengajar.[3]
Dibawah ini beberapa contoh arsitektur masjid di Jawa :
a.       Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak memiliki arsitektur yang masih bergaya Hindhu dan dimodifikasi dengan nuansa Islam. Atapnya yang terbuat dari kayu jati, bersusun tiga, menggambarkan kaitan antara iman, islam dan ikhsan. Pintu masuk ke bangunan utama masjid ada 5 buah yang menggambarkan rukun Islam. Sedangkan jendelanya 6 buah melambangkan rukun iman.
Masjid ini merupakan satu- satunya masjid yang pertama dan tertua di Jawa. Konon tiang- tiang utama dari masjid yang berjumlah 4 buah, tiang sebelah tenggara dicari dan dibuat oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel, sebelah barat daya oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Barat laut oleh Mahmud Ibrahim atau Sunan Bonang, Timur laut oleh Raden Sahid atau Sunan Kalijogo yang membawa tiang saka setinggi 19,54 M yang terbuat tidak dari pohon jati.
Sunan Kalijogo yang disebut sebagai pimpinan pendirian masjid itu hanya mengumpulkan ranting- ranting kayu, ijuk, diikat dengan tali rawadi. Untuk menjaga keamanan dan kelestarian tiang- tiang itu, kini telah ditutupi dengan kayu yang mengelilingi setiap tiang itu. 4 tiang lainnya diambil dari bangunan kerajaan Majapahit.

b.      Masjid Al- Aqsha (Masjid Menara Kudus)
Masjid Menara Kudus terletak di Kota Kudus, Jawa Tengah. Masjid yang dibangun oleh Ja’far Sodiq/ Sunan Kudus ini mempunyai menara yang sangat antik, yang mencerminkan perpaduan dua budaya : Islam dan Hindu Jawa. Di bagian depan ditambah bangunan baru berupa serambi. Di atas serambi itulah dibangun sebuah mimbar kubah yang besar bercorak arsitektur bangunan India. Di dalam serambi terdapat menara, tetapi lebih tepat seperti bangunan candi. Bahwa bangunan ini ada kemiripan dengan candi Jago yang terdapat di Mageng. Pada kaki menara berbentuk bujur sangkar, menara ini terdiri atas 3 bagian: kaki menara, badan menara, dan puncak menara. Pada bagian mustakanya dibuat dari emas yang diberi tangkai kaca. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa Islam tidak merusak kebudayaan yang telah ada sebelumnya.[4]

c.       Masjid Jami’ Al- Muttaqin Kaliwungu
Masjid Jami’ Al- Muttaqin didirikan pada abad XVII M. Pendapat ini didasarkan pada angka tahun yang ada di makam Kyai Guru Asari, pendiri masjid ini. Tidak jauh dari lokasi masjid, dapat kita temukan kompleks makam Kyai Guru Asari dan para keluarga serta keturunannya pada saat ini masih dikeramatkan dan diziarahi oleh masyarakat Kendal maupun kota- kota lain di sekitarnya.
Guru Kyai Asari adalah putara Kyai Ismail dari Yogyakarta. Kyai Guru Asari termasuk keturunan Maulana Malik Ibrahim. Kedatangan Beliau dan keberadaan masjid Jami’ yang pada mulanya hanya sebuah surau  atau langgar itu rupanya membawa perubahan besar bagi masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya. Setelah beberapa ratus tahun sepeninggalan Kyai Guru Asari, Kaliwungu benar- benar menjadi daerah pesantren yang marak dan terkenal dengan julukan “Kota Santri”.
Yang paling menarik dari masjid bersejarah ini adalah upacara syawalan yang diadakan setiap tanggal 7- 14 Syawal setiap tahunnya. Upacara syawalan ini sebenarnya adalah upacara haul wafatnya Kyai Guru Asari. Tetapi, sekarang ini kegiatan tersebut lebih menonjol sebagai kegiatan pasar satu malam minggu. Masyarakat muslim di Jawa Tengah, khususnya masyarakat Kendal sendiri terutama para orang tua merasa belum sempurna kalau tidak mengunjungi upacara syawalan.
2.      Pembuatan Makam atau Kuburan
Selain beraneka ragam ciri arsitektur masjid Jawa sebagaimana uraian di atas, di sekitar komplek masjid di Jawa juga terdapat bangunan makam. Biasanya makam yang terdapat di sekitar masjid adalah makam para tokoh Islam yang hidup di sekitar masjid itu berada, seperti masjid Kudus yang berada satu komplek dengan makam Sunan Kudus dan masjid Demak satu komplek dengan makam Raden Patah. Selain para tokoh Islam, makam para keluarganya, pangeran, punggawa keraton, tumenggung dan sebagainya juga berada di tempat itu. Makam merupakan tempat yang hampir ada di setiap tempat. Tak terkecuali keberadaan Islam.
3.      Tata Kota Islam
Secara tidak langsung, arsitektur dan tata kota Islam bertautan dan dipengaruhi oleh Hukum Ilahi atau Syari’ah, yang mencetak kehidupan individu Muslim dan kehidupan komunitas Islam sebagai satu keseluruhan. Hukum Ilahi itu sendiri berasal dari wahyu Islam dan sekalipun tidak mencipta arsitektur atau tata kota, ia benar-benar melengkapi arsitektur itu dengan latar belakang sosial dan manusiawi yang secara sakral mempunyai asal usul yag supra manusiawi. Karenanya, arsitektur dan tata kota Islam, dalam bentuk tradisional dicipta, dibentuk, dan dipengaruhi oleh agama Islam dalam prinsip-prinsip batini, bahasa simbolik dan landasan-landasan intelektual mereka, dan juga oleh penataan manusiawi dan sosial untuk mana mereka dipergunakan sebagai kerangka eksternal.
D.    Pola Internalisasi Arsitektur Jawa Islam
Sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa maupun yang sudah dipengaruhi oleh Hindu- Budha. Hal ini terlihat dari berbagai  bangunan seperti candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada gapura, hiasan tokoh wayang pada rumah, padepokan dan lain- lain.
Oleh karena itu ketika Islam masuk di Jawa, keberadaan arsitektur Jawa telah berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak dapat dipandang sebelah mata oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima dengan baik di Jawa maka simbol- simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa. Dengan kata lain, terjadi asimilasi antara kebudayaan Islam dan Jawa, sehingga membentuk budaya tersendiri yang berbeda sebagai perpaduan antara keduanya yang tidak dapat dipisahkan lagi, salah satunya dari segi arsitektur.[5]
Interrelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur masjid
Dari uraian diatas, berikut ini adalah interrelasi antara nilai Islam dan Jawa dalam arsitektur masjid:
a)      Adanya menara yang mirip dengan meru pada bangunan hindu.
Kata menara dari perkataan manara yang berasal dari bahasa arab nar yang berarti api atau nur yang berarti bahaya. Awalan kata ma menunjukkan tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi kemudian memiliki manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan adzan guna menyeru orang melakukan Shalat.[6] Sugeng Haryadi menyatakan bahwa menara dalam pandangan ulama sufi dikategorikan Manaru yaitu suatu bangunan yang puncaknya digunakan untuk memancarkan cahaya Allah SWT (agama Islam). Seperti contohnya masjid Kudus (Masjid Al-Aqsha) yang memiliki menara bercorak Hindu.
b)      Adanya lawang kembar, pintu gapura dan pagar bercorak Hindu.
c)      Penggunaan bentuk atas bertingkat/ tumpang dan pondasi persegi.
Bentuk bangunan masjid dengan model atas tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Adapun Nurcholis Madjid menafsirkannya sebagai lambang tiga jenjang penghayatan keagamaan manusia yaitu tingkat dasar (purwa), menengah (madya) dan tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana), yang sejajar dengan jenjang vertikal Islam, Iman, dan Ihsan. Selain itu dianggap pula sejajar dengan syari'at, thariqat, dan ma'rifat.[7]
d)     Adanya pawastren.
Pawastren adalah tempat shalat yang dikhususkan bagi para wanita. Biasanya ditempatkan di bagian selatan ruang utama dan dihubungkan dengan jendela dan pintu. Namun ada juga pawastren yang letaknya di sebelah utara, sebagaimana terdapat pada masjid Kudus Kulon. Bahkan di masjid Mantingan malah tidak ada pawastrennya.

e)      Adanya bedug dan kentongan.
Biasanya masjid di Jawa dilengkapi dengan bedug dan kentongan sebagai pertanda masuknya waktu shalat yang pada masanya dianggap sebagai sarana yang sangat efektif untuk komunikasi. Sunan Kudus juga punya kebiasaan unik  terkait dengan bedug ini, yakni kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh bedug berulang- ulang. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.[8]

Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur makam
Contoh interrelasi yang terjadi antara nilai Islam dan nilai Jawa dalam arsitektur makam atau kuburan adalah sebagai berikut:
a.       Penggunaan penanda pada makam seperti batu nisan dan ada pula yang diberi cungkup.
Di Jawa, makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, atau makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Ada pula yang diberi cungkup dan diberi hiasan- hiasan dan kelambu seperti makam Sunan Kudus, Raden Patah, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan lain- lain. 
b.      Ditempatkannya makam di tempat yang tinggi.
Sesuai dengan hadits Nabi yakni kuburan lebih baik ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui (HR. Baihaqi). Contoh makam yang ditempatkan di puncak bukit adalah komplek neoporole raja-raja Mataram di Imogiri, Astana Giribangun Mangadeg di Matesih, dan Makam Sunan Muria di gunung Muria. Kondisi ini menyerupai bangunan pura yang di dalamnya terdapat abu pembakaran mayat yang diletakkan pada tempat tinggi pada tradisi Hindu. 
c.       Adanya bangunan berlapis di sekeliling makam.
Bangunan makam sunan Kudus yang arealnya dikelilingi bangunan yang berlapis- lapis mengingatkan kita pada bentuk bangunan kedhaton pada keraton jaman kerajaan Hindu dan lawang korinya.
d.      Adanya candi pada beberapa Makam di Jawa menunjukkan adanya bukti interrelasi budaya Jawa dan Islam dalam arsitektur makam.
e.       Penggunaan istilah pesarean (tempat tidur panjang).
Dalam tradisi pra- Islam hampir tidak mengakui kematian. Kematian sering disamarkan atau ditafsirkan dengan "kembali ke alam Dewa", "Sirna", dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan makam tidak dianggap sebagai kubur sebagaimana konsep Islam, tapi sebagai tempat "tidur panjang" (pesarean), astana atau tempat ketenangan (kasunyatan).
IV.             KESIMPULAN
Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah:
a.       Arsitektur Islam adalah Ilmu dan seni merancang bangunan, kumpulan bangunan, struktur lain yang fungsional, dan dirancang berdasarkan kaidah estetika Islam.
b.      Dalam sejarah peradaban agama islam,masjid di anggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam islam,yakni dengan di bangunnya masjid Quba oleh rosulullah SAW sebagai masjid yang pertama.
c.       Banyak arsitektur jawa yang bercorak Islam, dimana terjadi asimilasi diantara dua kebudayaan tersebut,diantaranya:
1)      Masjid
2)      Makam
3)      Tata kota
d.      Internalisasi islam dalam arsitektur di jawa sebenarnya sudah dapat di lihat sejak awal islam masuk di jawa.mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran islam di jawa di lakukan melalui karya seni arsitektur,di antaranya adalah bangunan masjid.
V.                Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.



[1] Azymardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar baru, 1997, hal. 166.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Quba diakses pada 25 Maret 2013 Pukul 15:00
[3] Abdul Jamil dkk,  Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta :Gama Media, 2000, hal.186.
[4] Abdul Bakir Zein, Masjid-masjid bersejarah di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) hlm. 210-213
[5] M. Abdul Karim, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet. I, 2007, hlm. 152.
[6] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo, Yogyakarta: Grha Pustaka, cet. VII, 2009, hlm. 119-120.
[7] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, cet. I, 2000, hlm. 190
[8] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo, Yogyakarta: Grha Pustaka, cet. VII, 2009, hlm. 120

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
Matur Suwun Atas Kunjungannya, Semoga Bermanfaat!!! Salam Semangat Berkarya!!!